Sepucuk surat untuk hujan..
Dear Hujan,
Halo hujan. Bagaimana kabarmu? Tidak ada cacat di pikiranku tentangmu. Aku suka semua yang berhubungan denganmu. Jalanan yang basah. Wangi tanah di waktu hujan. Payung berwarna warni. Tawa riang anak kecil. Melodi syahdu suaramu. Ahh tak bisa kusebutkan semua tentangmu.
Sepertinya tahun ini kamu datang terlambat. Menyisakan tanda tanya di benakku, apakah alam sedang menguji kesabaran kami, terlebih aku si wanita pecinta hujan. Jika aku boleh jujur kepadamu, aku sangat mengharapkan kedatanganmu. Kamu adalah salah satu yang paling aku tunggu..setelah belahan hatiku saat ini tentunya. Apa? Baiklah jika kamu memaksaku untuk menceritakan rahasia ini. Rahasia mengapa aku rela menunggu kedatanganmu. Selalu.
Baiklah, izinkanlah aku menggali sedikit ingatanku saat pertama kali jatuh hati kepadamu. Dahulu aku memang tidak mengenalmu. Kebiasaanku menangis dulu menjadi awal aku ingin lebih mengenalmu. Menunggumu merupakan kesenangan sederhanaku. Aku rela menunggu setahun lamanya untuk kembali berjumpa denganmu.
Duhai hujan sang pujaan hati. Enggau selalu berhasil meredam amarahku dengan kesejukanmu. Setiap butiran airmu seakan berusaha menghibur segala kepedihanku. Ingatkah kamu saat aku menangis sambil bersepeda dulu? Kamu memarahiku dengan cahaya kilatmu. Aku yang saat itu begitu terpuruk, kamu belai dengan derasnya suaramu. Aku tahu kamu begitu peduli denganku, itulah alasanku menyukaimu.
Terkadang aku bertanya kepada semesta. Mengapa aku berbeda? Bukankah kita lahir dari Rahim yang sama? Tumbuh di tembok dan atap yang sama..dan mengapa aku tidak menjadi salah satu kesayangan wanita itu? Hingga waktu berjalan dan membawaku kepada kedewasaan, merantau namun tak memantau. Kamu adalah salah satu yang mengiringi kepergianku meninggalkan rumah itu. Pesanku hanya satu, tidak ada ucapan selamat tinggal, hanya sebuah kalimat sederhana “Sampai bertemu di lain waktu”.
Mungkin aku sedikit egois yang lebih mementingkan kebahagianku. Meninggalkan kebahagiaan fana yang entah kapan dapat kugapai. Bukankah pernah kukatakan padamu wahai hujan sang penyejuk hati, bahwa aku hanya ingin bahagia. Salahkah itu? Memangnya kamu tidak bosan melihatku menangis? Jauh disana, aku yakin jika kamu mendoakan kebahagiaanku diam-diam dalam iringan doamu.
Hari berganti hari, bulan dan tahun pun berganti. Seiring waktu aku pun tumbuh dalam kedewasaanku. Walau aku tak sesering dulu bercerita kepadamu, tapi aku masih setia kok denganmu. Buktinya hari ini, aku menatapmu dalam kesepianku. Tahukah kamu, aku sudah mengurangi kebiasaan menangisku. Tidak, tidak..aku tidak akan meninggalkanmu. Janganlah kamu berpikiran buruk tentangku, bukankah kamu selalu mengingatkanku bahwa aku harus meraih kebahagiaanku?
Hujan yang baik. Kehidupan cintaku tidak seperti wanita pada umumnya. Aku tidak ingin menjadi petualang cinta, tapi aku juga tidak suka menunggu jodohku. Aku mengenalnya hampir 2 tahun yang lalu, bukankah aku sudah pernah memceritakan dia kepadamu? Setelah aku lulus kuliah, aku mendapatkan pekerjaan di sebuah agensi digital, disanalah aku bertemu dengannya. Lupakan tentang “dia” yang dekat denganku di masa lalu. Prinsipku adalah menatap masa depan, bukan melihat ke belakang. Biarlah masa lalu menjadi sebuah pelajaran hidup, yang bisa dikenang dan dijadikan kekuatan diri.
Awal tahun lalu merupakan saat-saat kami mengenal. Tahukah kamu, aku selalu berdoa agar diberi jodoh yang paling baik. Dan akhirnya finaly aku menemukannya, hmm dia menemukanku. Kami dipertemukan. Ah aku jadi malu menceritakan ini kepadamu. Aku selalu mengingat filosofi tentangmu, tentang hujan yang romantis. Ibarat kata, kami ini seperti kamu dan awan yang saling melengkapi.
Dia yang menjagaku dan menyayangiku, yang dengan sabar membimbingku untuk menjadi lebih baik. Tak bosan menghapus tiap air mataku yang jatuh. Pintaku, sebuah kejujuran dan cinta yang sederhana. Biarlah rasa ini seperti kamu, wahai hujan dan awan. Bersedia menjadi wanita yang berjuang bersamanya, yang menerima segala hal baik dan buruknya darinya sang kekasih hati. Menjadi bagian dari tulang rusuknya, yang menopang punggungnya. Karenanya aku selalu ingin memperbaiki diri agar aku pantas bersanding dengannya, begitu juga sebaliknya. Kita.
Perasaan kami berpendar keseluruh arah. Aku berharap bahwa aku bisa menjadi yang diharap. Aku mohon kepadamu wahai hujan, agar doaku ini mengalir bersama rintik airmu, bermuara ke laut yang sama dan kembali menuju restu-Nya.
Baiklah aku sepertinya harus mengakhiri suratku kali ini. Jika ada kesempatan, akan kutulis kembali untukmu. Terima kasih telah menjadi sahabat yang paling baik untukku. Hujan.
– S –
Dear Hujan,
Halo hujan. Bagaimana kabarmu? Tidak ada cacat di pikiranku tentangmu. Aku suka semua yang berhubungan denganmu. Jalanan yang basah. Wangi tanah di waktu hujan. Payung berwarna warni. Tawa riang anak kecil. Melodi syahdu suaramu. Ahh tak bisa kusebutkan semua tentangmu.
Sepertinya tahun ini kamu datang terlambat. Menyisakan tanda tanya di benakku, apakah alam sedang menguji kesabaran kami, terlebih aku si wanita pecinta hujan. Jika aku boleh jujur kepadamu, aku sangat mengharapkan kedatanganmu. Kamu adalah salah satu yang paling aku tunggu..setelah belahan hatiku saat ini tentunya. Apa? Baiklah jika kamu memaksaku untuk menceritakan rahasia ini. Rahasia mengapa aku rela menunggu kedatanganmu. Selalu.

Baiklah, izinkanlah aku menggali sedikit ingatanku saat pertama kali jatuh hati kepadamu. Dahulu aku memang tidak mengenalmu. Kebiasaanku menangis dulu menjadi awal aku ingin lebih mengenalmu. Menunggumu merupakan kesenangan sederhanaku. Aku rela menunggu setahun lamanya untuk kembali berjumpa denganmu.
Duhai hujan sang pujaan hati. Enggau selalu berhasil meredam amarahku dengan kesejukanmu. Setiap butiran airmu seakan berusaha menghibur segala kepedihanku. Ingatkah kamu saat aku menangis sambil bersepeda dulu? Kamu memarahiku dengan cahaya kilatmu. Aku yang saat itu begitu terpuruk, kamu belai dengan derasnya suaramu. Aku tahu kamu begitu peduli denganku, itulah alasanku menyukaimu.
Terkadang aku bertanya kepada semesta. Mengapa aku berbeda? Bukankah kita lahir dari Rahim yang sama? Tumbuh di tembok dan atap yang sama..dan mengapa aku tidak menjadi salah satu kesayangan wanita itu? Hingga waktu berjalan dan membawaku kepada kedewasaan, merantau namun tak memantau. Kamu adalah salah satu yang mengiringi kepergianku meninggalkan rumah itu. Pesanku hanya satu, tidak ada ucapan selamat tinggal, hanya sebuah kalimat sederhana “Sampai bertemu di lain waktu”.
Mungkin aku sedikit egois yang lebih mementingkan kebahagianku. Meninggalkan kebahagiaan fana yang entah kapan dapat kugapai. Bukankah pernah kukatakan padamu wahai hujan sang penyejuk hati, bahwa aku hanya ingin bahagia. Salahkah itu? Memangnya kamu tidak bosan melihatku menangis? Jauh disana, aku yakin jika kamu mendoakan kebahagiaanku diam-diam dalam iringan doamu.
Hari berganti hari, bulan dan tahun pun berganti. Seiring waktu aku pun tumbuh dalam kedewasaanku. Walau aku tak sesering dulu bercerita kepadamu, tapi aku masih setia kok denganmu. Buktinya hari ini, aku menatapmu dalam kesepianku. Tahukah kamu, aku sudah mengurangi kebiasaan menangisku. Tidak, tidak..aku tidak akan meninggalkanmu. Janganlah kamu berpikiran buruk tentangku, bukankah kamu selalu mengingatkanku bahwa aku harus meraih kebahagiaanku?
Hujan yang baik. Kehidupan cintaku tidak seperti wanita pada umumnya. Aku tidak ingin menjadi petualang cinta, tapi aku juga tidak suka menunggu jodohku. Aku mengenalnya hampir 2 tahun yang lalu, bukankah aku sudah pernah memceritakan dia kepadamu? Setelah aku lulus kuliah, aku mendapatkan pekerjaan di sebuah agensi digital, disanalah aku bertemu dengannya. Lupakan tentang “dia” yang dekat denganku di masa lalu. Prinsipku adalah menatap masa depan, bukan melihat ke belakang. Biarlah masa lalu menjadi sebuah pelajaran hidup, yang bisa dikenang dan dijadikan kekuatan diri.
Awal tahun lalu merupakan saat-saat kami mengenal. Tahukah kamu, aku selalu berdoa agar diberi jodoh yang paling baik. Dan akhirnya finaly aku menemukannya, hmm dia menemukanku. Kami dipertemukan. Ah aku jadi malu menceritakan ini kepadamu. Aku selalu mengingat filosofi tentangmu, tentang hujan yang romantis. Ibarat kata, kami ini seperti kamu dan awan yang saling melengkapi.
Dia yang menjagaku dan menyayangiku, yang dengan sabar membimbingku untuk menjadi lebih baik. Tak bosan menghapus tiap air mataku yang jatuh. Pintaku, sebuah kejujuran dan cinta yang sederhana. Biarlah rasa ini seperti kamu, wahai hujan dan awan. Bersedia menjadi wanita yang berjuang bersamanya, yang menerima segala hal baik dan buruknya darinya sang kekasih hati. Menjadi bagian dari tulang rusuknya, yang menopang punggungnya. Karenanya aku selalu ingin memperbaiki diri agar aku pantas bersanding dengannya, begitu juga sebaliknya. Kita.
Perasaan kami berpendar keseluruh arah. Aku berharap bahwa aku bisa menjadi yang diharap. Aku mohon kepadamu wahai hujan, agar doaku ini mengalir bersama rintik airmu, bermuara ke laut yang sama dan kembali menuju restu-Nya.
Baiklah aku sepertinya harus mengakhiri suratku kali ini. Jika ada kesempatan, akan kutulis kembali untukmu. Terima kasih telah menjadi sahabat yang paling baik untukku. Hujan.

– S –